Viral! Aksi Mengolah ASI Jadi Bubuk, Begini Tanggapan Medis

sekitarjambi.com – Memompa Air Susu Ibu (ASI) lalu disimpan dalam frezeer, sudah hal yang biasa. Namun, belakangan ini viral di media sosial muncul tren mengolah ASI menjadi bubuk freeze dryed.

Mengolah ASI bubuk atau yang dikenal dengan metode lyophilization ini belakangan menjadi tren. Tujuannya memperpanjang umur simpan ASI. Yakni dari semula 6 bulan di dalam freezer, menjadi 3 tahun. Adapun alasannya adalah untuk menghemat ruang penyimpanan ASI. Serta demi kenyamanan ibu yang ingin terus memberikan ASI kepada buah hatinya di luar masa cuti melahirkan.

Menanggapi hal ini, Ketua SATGAS ASI Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), DR. dr. Naomi Esthernita Fauzia Dewanto, SpA(K)., mengatakan bahwa proses pengeringan untuk menghilangkan kandungan air atau freeze drying ini memiliki dampak pada rasa dan kualitas ASI.

“Tanpa bukti penelitian yang memadai, hingga saat ini belum jelas apakah freeze dryed ASI memiliki rasio protein, lemak, karbohidrat yang tepat sebagai sumber nutrisi penting yang dibutuhkan bayi. Berikut zat aktif untuk kekebalan tubuh dan tumbuh kembang bayi,” ujar Naomi.

Adapun proses pengolahan ASI bubuk ini meliputi pembekuan ASI pada suhu ekstrem -50 Celsius selama 3-5 jam.

Kemudian, mengubah ASI beku menjadi susu bubuk menggunakan teknik sublimasi. Yaitu transisi ekstraksi air selama 2 hari langsung dari bentuk padat (es) ke gas (uap air) tanpa fase cair. Melalui pengolahan ini, rata-rata 1 liter ASI akan menghasilkan sekitar 140 gram susu bubuk.

Naomi menjelaskan, berdasarkan penelitian, pembekuan ASI yang biasa dilakukan di rumah dapat menimbulkan serangkaian perubahan fisik pada komponen utama ASI. Semisal pecahnya membran gumpalan lemak dan perubahan misel kasein. Kemudian terjadinya penurunan komposisi faktor bioaktif protein, seiring lamanya penyimpanan beku.

Metode freeze drying juga tidak melalui prosedur pasteurisasi yang bertujuan membunuh bakteri berbahaya. Pasteurisasi sengaja dihindari untuk menjaga probiotik vital yang ada dalam ASI. Oleh karena itu, metode tersebut tetap memiliki risiko kontaminasi. Terutama saat rekonsiliasi penambahan air pada bubuk freeze dryed ASI sebelum dikonsumsi bayi.

“Menyusui dan memerah ASI untuk bayi mungkin terasa melelahkan, dan dapat dimengerti bila ibu ingin mencari cara termudah untuk memastikan bayi tetap memperoleh ASI,” ujar Naomi.

Meski demikian, menyusui langsung dari payudara ibu sangat direkomendasikan agar dapat terjalin kontak erat antara ibu dan bayi. Serta menumbuhkan rasa aman dan meningkatkan ikatan orangtua dengan anak.

“Menyusui bukan sekadar memberikan ASI,” ujarnya.

Di sisi lain, SATGAS ASI Ikatan Dokter Anak Indonesia juga telah memperingatkan kepada seluruh pihak agar tidak sembarangan mempromosikan atau memberikan freeze dryed ASI kepada bayi, terutama pada bayi dengan kondisi medis tertentu. Diantaranya yakni prematur atau bayi yang mengalami gangguan kekebalan tubuh atau penyakit kronis.

Terlebih, metode mengolah ASI bubuk tersebut adalah temuan yang relatif masih sangat baru. Sejauh ini, pembuktian melalui riset ilmiahnya belum lengkap. Sehingga belum ada aturan atau rekomendasi penggunaannya oleh organisasi kesehatan, seperti Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat (CDC), AAP, atau FDA. (Iz)

Bagikan